Member-only story
Aku ingat, teman latihanku pernah bilang padaku “kamu sedang ada di fase jenuh,” katanya. Dia mengatakan itu ketika aku sedang tidak memiliki tenaga dan semangat untuk latihan. Sehingga menggerakkan beban yang cukup ringan pun rasanya tidak mampu sekalipun aku baru saja memulai latihan. Bahkan setelah kupaksakan, energiku hanya bertahan sekejap saja sebelum lenyap membuatku melemah.
Kupikir fase jenuh itu bisa terjadi dalam hal apa saja. Bukan hanya pada saat latihan seperti itu, tapi bisa juga pada hal-hal yang sering dilakukan sehari-hari. Bekerja sehari-hari pun seseorang bisa jenuh, sekalipun beberapa orang termasuk aku, tetap melakukannya sebab itu adalah salah satu cara untuk berbahagia dari keringat, usaha, dan pengalaman kita sendiri.
Begitu pula, fase jenuh yang terjadi pada kebiasaan yang sedang kita tanamkan. Membaca, menulis, dan semacamnya. Biasanya, kejenuhan itu akan muncul sebagai pertanyaan seperti “untuk apa aku menulis terus setiap hari seperti ini?” atau “sampai kapan aku akan menulis?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mencoba jadi alasan untuk berhenti.
Belum lagi jika alasan-alasan itu bertambah banyak. Bukan hanya yang datang dari kejenuhan, tapi juga yang hadir dari kecemasan dalam diri sendiri. Sebab tiba-tiba berpikir, aku takut seseorang memandangku aneh setelah mengenalku melalui catatan-catatanku. Mungkin pula aku yang…