Kupikir beginilah jadinya kalau aku terlambat menulis. Tiba-tiba saja kemalasan tiba dalam beragam bentuk. Ada yang datang sebagai pegal di pundak, ada yang datang sebagai kantuk di kedua bola mata, dan ada pula yang datang sebagai hiburan di layar ponsel.
Kemalasan semakin lama semakin cerdik saja, pikirku. Selalu punya cara baru untuk membuatku jadi pemalas. Namun sayangnya, ia tidak mampu mengelabuiku. Sekalipun sesaat aku sempat terlena, tapi beruntung aku tidak lagi semudah itu terkena tipu dayanya.
Saat aku tahu kemalasan tiba, aku segera bangkit, melepaskan ponselku, lalu beranjak ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku terlebih dahulu untuk menghapus kemalasan yang menempel di wajahku. Setelah itu, aku segera membuka laptop dan memulai catatan ini.
Aku membayangkan, seharusnya itu yang kulakukan ketika kemalasan menyerangku. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Aku malah memanjakan kemalasan itu dengan berbaring lebih lama, menggulir ponselku lebih lama, dan merebahkan lelahku lebih lama.
Aku mulai melakukan itu sejak pukul 8. Tak terasa, waktu berlalu dan sekarang sudah pukul 10. Sesaat aku berpikir entah apakah waktu yang berlalu terlalu cepat atau aku yang terlalu lama memanjakan kemalasanku.
In tentu saja bukan hal yang baik bagiku. Sebab jika aku terus melakukan itu, hal-hal lain akan ikut terganggu pula. Misalnya saja saat ini, seharusnya sudah waktunya aku memadamkan lampu, menutup laptop, dan istirahat.
Namun yang terjadi, lampuku masih menyala terang, aku masih berada di hadapan laptoku menulis catatan ini, dan begitu pula, aku aku harus mengundur jam tidurku untuk malam ini. Semoga saja aku bisa tidur yang cukup agar bisa terbangun dengan semangat yang lebih segar pada pagi hari.
Kupikir, sudah waktunya memadamkan lampu.