Member-only story
Belum menjadi Medium Member? Baca versi gratis melalui tautan ini.
Beberapa tahun lalu, pada sebuah gelar wicara, aku pernah mendengar eyang Sapardi bilang seperti ini. Tidak persis seperti ini, tapi yang aku ingat kira-kira beliau bilang, “Jangan menulis ketika kamu sedang marah sebab itu akan membuat tulisanmu berapi-api, dan jangan menulis ketika kamu sedang sedih sebab itu membuat tulisanmu menjadi cengeng. Cobalah mengambil jarak untuk memahami dan menenangkan perasaanmu, setelah itu baru menulis.”
Kalau aku tidak salah ingat, beliau mengatakan itu ketika seseorang bertanya mengenai perbedaan puisi-puisinya yang ada di Ayat-Ayat Api dan puisi-puisi lainnya seperti di Duka-Mu Abadi. Kemudian lanjut menjelaskan dan mengakui bahwa dalam puisinya yang berjudul Dongeng Marsinah, misalnya, ia sedang marah. Sekalipun begitu, beliau bilang, tetapi ia tetap mengambil jarak dari kemarahannya sebelum menuliskan puisi itu.
Kupikir, apa yang beliau katakan itu benar. Aku pernah melakukan hal yang ia sarankan untuk tidak dilakukan. Jangan menulis ketika sedang marah, dan aku melakukannya. Akibatnya tulisanku penuh dengan segala kata yang berhubungan dengan keresahan, kekesalan, dan semacamnya. Namun aku tetap lanjut menuliskannya sebab itu membuatku sedikit lega. Menuliskan kemarahan itu, rasanya semacam melampiaskan kemarahan tanpa perlu menyentuh dan menyakiti…