Namanya Yanto. Sebut saja begitu. Aku bertemu dengannya ketika mendapat tugas untuk menulis tentang kehidupan masyarakat di suatu pulau terpencil. Pulau M.
Yanto lahir dan besar di Pulau M. Ketika usianya 17 tahun, dia pergi meninggalkan pulau untuk mencari kedua orang tuanya. Kata tetangga yang merawatnya sejak kecil, Ibu dan Ayahnya pindah ke kota J.
Dia meninggalkan pulau hanya dengan satu hal yang pasti. Apapun yang terjadi kelak, dia tidak boleh lagi kembali ke pulau itu. Tak ada seorang pun yang menjadi alasannya untuk kembali ke pulau itu. Apalagi, tetangga yang merawatnya juga sudah bilang kepadanya. “Sekali kau melangkahkan kaki keluar dari pulau ini, aku tidak akan pernah menerimamu kembali ke rumah ini” katanya. “Pergilah temui orang tuamu. Itu hakmu! Tapi ingat, jangan pernah kembali ke pulau ini!”
Itu adalah keputusan terbesar yang dia ambil sejak usianya masih remaja. Sekalipun dia sempat berpikir, bagaimana jika nanti aku tidak bertemu orang tuaku? bagaimana jika nanti mereka menolak untuk menerimaku? bukankah mereka meninggalkanku karena tidak menginginkanku? Lalu untuk apa aku menemui mereka?
Semakin banyak pertanyaan muncul di kepalanya, semakin kuat pula alasannya untuk melangkahkan kaki keluar dari pulau untuk mencari orang tuanya.
Dia menumpang di kapal wisata menuju kota pelabuhan. Kapal wisata itu selalu datang sekali dalam sebulan ke pulaunya untuk membawa wisatawan. Maklum, pulau itu sangat jauh dari jangkauan dan pengaruh dari luar. Pulau itu masih murni dan budayanya yang unik. Belum lagi, tentang hal ajaib yang terjadi di pulau itu. Hal itu yang menarik wisatawan untuk berkunjung. Namun di sisi lain, kedatangan wisatawan setiap bulan ke pulau itu, perlahan demi perlahan mengubah pulau itu.
Kebetulan, dia adalah orang yang selalu menyambut kapal itu setiap kali mereka berkunjung. Jadi ketika dia meminta untuk menumpang ke kota pelabuhan, orang-orang di kapal senang-senang saja menampungnya. Bahkan selama tiga hari berlayar, dia tidak perlu memikirkan apa-apa di atas kapal. Baik itu makanan, tempat tidur, dan bahkan biaya. Semuanya ia dapatkan secara gratis.
Tiba di kota pelabuhan, dia lalu melanjutkan perjalanan darat, lalu udara, kemudian darat lagi, dan tiba di Kota J. Kota yang dipercaya dapat mengubah mimpi orang-orang jadi kenyataan. Ia hanya mendengar itu dari para wisatawan yang berkunjung ke pulaunya. Kata mereka, siapapun yang menginjakkan kaki di sana, tidak akan pernah ingin meninggalkan kota itu.
Aku bekerja di kapal wisata itu. Aku masih anak baru. Jadi, atasanku memintaku untuk ikut berlayar agar aku dapat cepat belajar. Sekaligus, mereka memintaku untuk menulis satu cerita dari pengalamanku itu. Satu hal yang menarik minatku adalah cerita mengenai Pulau M itu.
Aku tahu tentang Pulau M dari internet. Aku menemuinya melalui salah satu berita dengan judul clickbait yang berhasil menarik perhatianku. Judul beritanya seperti ini: Ajaib! Seorang Anak di Pulau M Mampu Berbicara Dengan Hiu Paus.
Ternyata, belakangan baru kuketahui bahwa dari berita inilah awal mula wisatawan mengenal pulau itu. Bahkan, beberapa pemandu wisata menawarkan paket wisata ke pulau itu dengan paket berenang bersama Hiu Paus.
Setelah membaca berita itu, aku sempat berpikir, apakah wisatawan yang datang ke sana akan bertemu dengan anak yang mampu berbicara dengan hiu paus itu juga? Ternyata tidak. Banyak desas desus mengatakan anak itu hilang di laut. Ada juga yang bilang dia masih hidup tetapi usianya sudah tidak muda lagi.
Berita yang ditulis dengan sumber kebenaran yang tidak jelas itu, satu-satunya referensiku mengenai Pulau M. Tapi, setidaknya, itu pula yang membawaku jauh mencari informasi lain hingga aku bertemu dengan Yanto. Bukan! Dia bukanlah anak muda ajaib itu. Tapi Yanto satu-satunya yang tau kebenaran mengenai berita itu dan cerita orang-orang mengenai Pulau M.
Aku bertemu Yanto ketika usianya sudah 62 tahun. Sedangkan aku, masih 23 tahun. Aku baru saja lulus kuliah dari jurusan Sastra Inggris, dan berniat jadi penulis. Tapi takdir membawaku untuk menjadi penulis konten untuk kapal wisata ini.
Yanto adalah lelaki yang kesepian. Setidaknya begitulah penilaian pertamaku ketika kami bertemu. Aku menemuinya di warung kecil tepat di depan tempat tinggalnya. Dia tinggal di kos-kosan yang sama sekali tidak terlihat seperti kos-kosan.
“Pak Yanto tinggal sendiri?” Aku membuka percakapan dengan pertanyaan itu. Aku tidak tahu apa alasanku menanyakan hal itu. Tiba-tiba saja terucap dari mulutku ketika melihat kamar kosannya yang tampak sempit dan pengap itu.
“Berdua dengan bayang-bayang. Kalau malam, sendiri!” jawabnya sambil tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum meski tidak yakin apakah jawabannya itu semacam lelucon atau curhatan. Pipiku masih melebar tersenyum ketika Pak Yanto bertanya kepadaku “Kamu tinggal di mana?”
Selesai menjawab satu pertanyaan itu, dia lanjut menanyakan hal lain. Dan terus menerus muncul dengan pertanyaan baru setelah aku menjawab. Seolah dia yang seharusnya mewawancaraiku. Belum sempat aku bertanya, dia lanjut bercerita. Dia bercerita tentang banyak hal dan membuatku larut dalam ceritanya.
Menurutku, siapapun yang mendengarnya bercerita, pasti akan mengalami hal yang sama denganku. Pak Yanto adalah pencerita yang baik. Aku jadi semakin percaya bahwa orang-orang tua dulu itu pandai bercerita. Dia adalah salah satu buktinya. Caranya menyampaikan cerita, intonasi, dan bahkan pemilihan katanya sempurna. Dengan mudah aku menikmati dan mencerna cerita-ceritanya.
Aku bahkan terlambat menyadari bahwa selama satu jam duduk di situ, aku tidak menanyakan apapun. Aku hanya diam dan sesekali tersenyum atau mengangguk mendengarkannya bercerita. Dia sepertinya tahu bahwa aku senang mendengar cerita.
Namun selama bercerita, dia tidak sedikitpun bercerita mengenai Pulau M. Seketika ketika menyadari itu, suasana hatiku pun berubah. Dari awalnya senang mendengar ceritanya, aku malah muak. Setiap satu kata yang terucap dari mulutnya membuat emosiku semakin meningkat.
Aku tak tahu dari mana keberanian atau mungkin kebodohan ini datang. Aku tiba-tiba berdiri, memukul meja warung itu, dan bilang “OMONG KOSONG!” Lalu pergi meninggalkannya.
Kupikir dia mati saat itu juga. Mungkin karena kaget atau semacamnya sehingga nafasnya tersedak dan gagal menyelamatkan dirinya.
*Catatan: Aku pernah membaca satu wawancara dari seorang penulis. Katanya, cara paling cepat untuk menyelesaikan ceritamu adalah dengan membunuh tokoh utamanya.