Member-only story
Kulihat Chairil duduk seorang diri. “Eh, ada bocah cilik bermain kejaran dengan bayangan.” Aku mencoba menyapanya dari jarak tiga langkah. Ia hanya diam, lalu sebentar menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari tangannya. Ia benar-benar tampak seperti “binatang jalang dari kumpulannya terbuang.”
Ia menunduk memandangi sepi di pelabuhan kecil. “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”, gumamku. Aku berjalan mendekatinya. Wajahnya milik resah atau sesuatu yang lebih mirip gelisah.
Kuperhatikan seluruh tubuhnya, kutatap begitu lekat, semakin dekat, tapi ia tampak berusaha menyembunyikan diri di balik jaket entah siapa lagi yang dikenakannya, seolah ingin berkata “tubuhku terpanggang tinggal rangka.”
Kuraih bungkusan rokok dari saku celanaku. Isinya tinggal sebatang. Rokok itu kujepit di antara jari tengah dan jari manisku, maklum, itu gayaku. Belum sempat kubakar, ia tiba-tiba menyambar rokokku, menyalakan korek kayu dan membakarnya, persis pose di foto-fotonya yang terkenal itu.
Aku hanya mampu menggelengkan kepala sambil menunggunya mengajakku berbagi, “Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.” Benar, sampai di sini, ia bahkan tak sedikitpun membicarakan mengenai rokok itu. Ia mendongakkan kepala lalu menghembuskan asap tebal, lalu berbisik pelan “Segala menebal, segala mengental. Selamat tinggal!”