Member-only story

Mencuci Piring

wahab
2 min readAug 5, 2024

--

Aku pernah membaca seseorang menulis keresahannya tentang piring-piring kotor. Katanya, “ngomong tinggi-tinggi soal negara dan revolusi, tapi abis makan gak bisa cuci piring sendiri!” Lucu. Aku tertawa membaca kalimat itu, dan bahkan kutunjukkan kepada temanku untuk secara tidak langsung bilang padanya “kalimat ini untukmu.”

Teman-temanku pun tertawa, tapi tak ada yang berubah setelahnya. Kami tinggal bersama beramai-ramai. Kami sering menikmati makan beramai-ramai pula. Namun giliran mencuci piring, hanya aku seorang yang melakukannya. Tak ada seorang pun yang berani menyentuh piring kotor bekas mereka sendiri.

Di lain waktu, aku bertemu seseorang. Dia bercerita tentang suatu hal, aku lupa, dan dia menggunakan “cuci piring” sebagai perumpamaannya. Katanya, jika kamu ingin melihat orang yang bisa bertanggungjawab, lihatlah mereka setelah makan. Apakah mereka akan meninggalkan piring kotornya di situ dan berharap seseorang akan melakukannya untuk mereka, atau mereka melakukannya sendiri.

Sebab itu pula, aku suatu kali menulis puisi dengan judul yang sama. Mencuci Piring. Namun saat ini, ketika menemukan lagi puisi lama ini, aku lupa kenapa waktu itu aku memilih setiap kata yang kugunakan pada puisi ini, dan atas sebab apa pula judul Mencuci Piring adalah pilihanku kala itu.

MENCUCI PIRING

tak ada pintu, tak ada
jendela, tak ada jalan keluar.
dapur hanya dinding-dinding putih
dan asap bumbu membumbung tinggi.

di luar, hujan seperti gelas kaca tumpah-pecah
merintih, membasuh
piring-piring kotor. mencuci cahaya
bintang-bintang, dan malam berkilau kelam.

--

--

wahab
wahab

Written by wahab

i write every day about little things and everything in between.

No responses yet