Pagi tadi, sebelum mandi dan bersiap-siap kerja, aku menelpon Ibu. Kami tidak berbincang lama. Hanya lima menit. Aku dan Ibu tidak pernah berbincang lama, apalagi melalui telpon. Tapi percakapan singkat itu membuat aku berpikir cukup panjang.
Baru saja ketika telpon kami terhubung, aku mendengar suara Ibu bergetar menjawab salamku. Awalnya, aku mencoba untuk biasa saja. Jadi kualihkan pertanyaanku segera “Mama, baru bangun?” Meskipun kutahu itu pertanyaan yang tidak tepat. Tentu saja Ibu sudah terbangun sejak tadi. Bahkan, Ibu selalu bangun lebih awal sebelum ayam membangunkan pagi.
“Tidak. Dari tadi,” katanya, menjawab pertanyaanku. Tapi tetap saja aku mampu merasakan getar suara Ibuku yang berbeda dari biasanya. “Tapi, suara Mama kedengaran seperti orang baru bangun?” Tetap saja aku terus mengalihkan pikiranku. Lalu Ibu menjawab “Saya selalu sedih kalau kamu menelpon.”
Sebagai anak laki-laki bungsu yang mencoba untuk tetap kuat, aku berpura-pura tertawa kecil, lalu melanjutkan pertanyaanku “Kenapa?” Tapi Ibu tidak menjelaskan alasannya. “Tidak.” Sesingkat itu jawabnya.
Sekalipun begitu, aku mampu merasakannya. Jadi aku melanjutkan pertanyaanku “Mama sama siapa di situ?”
Jarak antara pertanyaan ini dengan jawaban Ibu cukup singkat. Tidak lebih dari sedetik. Tapi di antaranya, pikiranku tiba-tiba membawaku jauh kembali ke kampung halaman. Tepat di hadapan Ibu.
Ketika Ibu menjawab “Saya lagi sendiri,” aku tiba-tiba merasa seperti ada sesuatu yang tak tertahankan dan ingin meledak di dalam dadaku. Aku berusaha menahannya dan hampir saja sesuatu mencair di mataku. Hampir saja.
Tapi Ibu tahu, dia tidak ingin aku mencairkan rinduku sepagi ini. Jadi dia segera mengambil alih percakapan “Saya tadi baru selesai memberi makan ayam-ayam.” Ibu menceritakan tentang kebiasaan yang dulunya sering kulakukan setiap pagi di rumah. Ibu lalu lanjut bercerita mengenai kondisi ayam-ayamnya kini. Katanya, telur-telur ayam yang sebelumnya, habis dilahap biawak, seperti biasanya.
Aku jadi mengenang kegelisahanku waktu itu. Ketika aku sedang semangat memelihara ayam, tapi biawak selalu menjadi ancaman yang meresahkan. Lalu, baru Ibu menanyakan tentang hal kecil yang sepele namun tidak semua orang mampu menanyakan “Bagaimana kabarmu?”
Aku menjawab bahwa aku sungguh baik-baik saja. Aku ingin Ibu selalu merasa tenang dan dapat memikirkanku tanpa kekhawatiran. Begitu pula aku, aku selalu ingin bisa tetap merindukan Ibu tanpa kecemasan.
Lalu aku kehabisan kata-kata. Seperti biasa, aku selalu kesulitan membangun percakapan yang panjang dengan siapapun. Jadi aku terdiam, dan Ibu pun terdiam. Kami sama-sama menikmati keheningan yang menenangkan untuk sesaat, sebelum aku meminta izin untuk segera mandi.
Selepas percakapan usai, aku menyadari bahwa aku menghabiskan waktu yang panjang di bawah guyuran air mandi, sambil mengenang percakapan singkat kami yang hangat.