Kehilangan bisa terjadi kepada siapa saja, dan tentu saja setiap orang pernah mengalaminya.
Dari hal-hal kecil seperti di ruang kelas, kadang kehilangan pulpen, di masjid bisa kehilangan sandal, hingga pada hal-hal personal seperti kehilangan orang-orang terdekat. Tapi yang terburuk adalah kehilangan diri sendiri.
Kadang seseorang akan bercerita kepada kita tentang keresahan dan kegelisahan yang mereka alami akibat kehilangan. Lalu di satu sisi, kita sebagai pendengar akan melakukan sebisa mungkin hal yang kita mampu untuk membantu orang tersebut merasa tenang dan damai.
Kadang berupa ucapan, misalnya “ini bukan akhir dunia” atau berupa tindakan sesederhana memasang mata, hati, dan telinga kita pada diri pencerita untuk ikut melihat, mendengar, dan merasakan apa yang mereka alami.
Namun tentu saja, ucapan dan tindakan itu tidak akan mudah kita terima jika musibah itu terjadi pada diri kita. Seseorang mungkin akan mengungkapkan atau melakukan hal yang sama untuk membantu kita merasa tenang.
Namun tidak mudah menerima segala yang terjadi. Sebabnya, kita bersedih, kita menderita, kita bahkan akan depresi dengan kejadian yang tak pernah kita inginkan.
Tapi percayalah, segala yang terjadi, bukanlah akhir dunia. Kita masih punya pilihan: tetap bersedih dan meratapi segala kehilangan atau bangkit dan berjalan sebab percaya bahwa “kita tidak punya apa-apa dan tak akan kehilangan apa-apa.”
Ini adalah catatan lama yang ternyata kutulis beberapa tahun lalu. Aku ingat menulis catatan ini ketika baru saja mengalami salah satu kehilangan terbesar dalam hidupku. Aku menulis catatan ini kepada diriku sendiri untuk membantu diriku memahami dan menerima kehilangan yang kualami waktu itu. Kupikir aku ingin membagikan catatan lama ini di sini — setelah menghapus beberapa bagian yang sensitif — sebagai pengingat pada diriku bahwa setelah kehilangan kita selalu punya dua pilihan.