Setiap kali kesedihan itu datang mengunjungiku, aku merentangkan tangan dan menerimanya sebagai bagian terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.
Menenangkan kesedihan, melupakan penyesalan, dan menyembuhkan luka itu tidak mudah. Orang-orang selalu bilang “waktu akan memperbaiki semuanya.”
Tapi nyatanya, tidak semudah itu. Apakah ada luka yang sembuh dan mengering dengan sendirinya? Kupikir, tidak! Bukankah kau harus berusaha melakukan sesuatu untuk menyembuhkannya? Sekalipun sembuh, kau harus menerima bekasnya.
Aku pernah jatuh dan terluka. Dan pengalaman jatuh yang terburuk, mengubah segala hidupku dalam sekejap. Aku tidak akan menceritakan secara detail. Tapi aku cuma bisa bilang “Hidup menginginkan kita terus berjalan dan menjalaninya, tapi tak pernah memberitahu pada bagian mana kita akan terjatuh.”
Awalnya kupikir, aku akan kuat untuk belajar berdiri lagi. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa adakalanya kau akan terjatuh, tapi itu tidak berarti kau harus berhenti berjalan.
Sampai pada suatu malam, aku merasakan kesedihan tiba-tiba memelukku dari belakang dan berhasil menguasaiku. Aku tidak mampu menahan rasa sakit yang meledak di ulu hatiku dan mencair di mataku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tidak dalam keadaan siap. Pikiranku menjadi gelap dipenuhi penyesalan. Luka yang belum sembuh kembali terbuka. Sakit tapi aku tidak lagi merasakan apa-apa. Mata air dari mataku tak henti mengalir.
Aku lelah. Aku menyerah. Lalu tertidur.
Kupikir, semuanya akan selesai begitu saja. Tapi rasa sakit itu menjelma mimpi buruk. Aku menyadari diriku tiba-tiba terbangun dengan mata yang basah. Perasaan yang basah.
Aku mencoba menenangkan diriku. Sambil duduk bersila di atas kasur, aku membisikkan doa-doa kepada kedua telapak tanganku. Aku tak henti meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja …
Setelah malam itu, setiap kali kesedihan itu datang mengunjungiku, aku merentangkan tangan dan menerimanya sebagai bagian terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.