Sekarang aku jarang lagi, dan bahkan mungkin tidak pernah lagi menemukan hal seperti ini. Mungkin. Dulu aku pernah bertemu seseorang yang setiap kali kami berbincang, membuatku selalu ingin tetap menatap matanya. Sebab setiap kali dia bercerita, aku seperti masuk ke dalam dunianya melalui sepasang matanya.
Matanya. Aduh, sepertinya menceritakan itu tidak akan berakhir menyenangkan bagiku. Meskipun sebetulnya aku sudah terbiasa, tapi, aku merasa perlu hal lain untuk diceritakan. Aku perlu mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang sudah berlalu. Kupikir aku ingin bercerita mengenai awal aku belajar mengendarai motor.
Iya, aku akan bercerita mengenai motor. Aku sudah menginjak usia kelas tiga SMP ketika pertama kali bisa mengendarai motor sendiri. Padahal teman-teman bermainku, yang usianya jauh lebih mudah dariku, mereka dengan lincah dan lancar saja menancap gas motor mereka. Kadang-kadang itu membuatku merasa iri waktu itu. Bahkan sampai suatu kali, rasa iri itu membuatku sedih dan berujung pada keluhan panjang kepada Ibuku.
Suatu kali, aku tiba-tiba bilang ke Ibuku untuk dibelikan motor. Aku memikirkan bahwa, jika aku sudah memiliki motor maka aku akan punya kesempatan untuk belajar mengendarai motor sendiri. Seperti halnya yang dilakukan oleh teman-temanku. Ayah mereka memiliki motor yang bisa mereka gunakan untuk berlatih. Sedangkan aku, hanya ada sepeda mustang tua di rumahku.
Namun tentu saja, permintaanku tidak segera dipenuhi Ibu. Ada terlalu banyak hal yang perlu Ibu pikirkan sebelum membeli motor. Ibu masih perlu membeli ini dan itu, dan sebagainya. Motor adalah kebutuhan tersier bagi keluarga kami. Sebab waktu itu, aku masih bersekolah asrama dan sama sekali tidak membutuhkannya, sebetulnya.
Waktu berlalu, keinginanku untuk belajar mengendarai motor tetap saja tidak pudar sekalipun aku belum memiliki motor sama sekali. Tetanggaku yang baru saja membeli motor pertamanya, tiba-tiba menawarkan kepadaku, “Kau mau belajar naik motor?” Aku belum sempat menjawab pertanyaannya ketika dia tiba-tiba mengatakan kepadaku, “Cobalah pakai motor ini.”
Dia memberikanku kunci motornya beserta seluruh kepercayaannya. “Kau pasti bisa cepat pintar naik motor, apalagi kakimu cukup panjang juga.” Kaki panjang adalah kunci keberhasilan menurut kami, dan aku memiliki itu. Dengan penuh kepercayaan diri, aku menerima kunci motornya dan menyalakan mesinnya.
Awalnya aku berpikir ini cukup mudah. Entah kenapa tiba-tiba saja aku secara tidak sengaja menarik gas pada posisi gigi satu. Seketika motor itu seperti kuda yang berontak dan menabrak tangga rumah kayu seseorang. Orang-orang yang sedang berkumpul di sekitar dan bersiap-siap masuk ke masjid untuk sholat jumat, semuanya berbalik dan segera berkumpul mengelilingiku.
Aku tidak terluka sama sekali, tapi tangga rumah kayu itu bergeser dari posisi awalnya. Sedangkan motor temanku, tidak lagi sama seperti semula. Temanku dimarahi oleh orangtuanya, dan begitu pula aku yang mendapat bagian kemarahan Ibu. Peristiwa itu melekat lama di ingatanku dan ingatan tetanggaku. Setelah itu, aku tidak pernah lagi meminta Ibu untuk membelikanku motor. Aku melupakan semuanya sampai Kakakku membeli motor yang sesekali dia pinjamkan kepadaku, hingga aku mahir melakukannya sendiri.