Februari 2021 lalu, aku sempat mengikuti semacam acara untuk merayakan valentine ala pembaca. Acara itu mempertemukan orang-orang yang senang membaca buku untuk bercerita mengenai buku favorit mereka. Lalu pada akhir acara, masing-masing akan bertukar kado buku secara acak.
Waktu itu, acara itu dilaksanakan secara virtual. Jadi baik penerima dan pemberi tidak dapat saling bertukar kado buku mereka secara langsung. Mereka harus mengirimkan buku ke alamat penerima masing-masing.
Aku menjadi salah satu peserta dalam acara itu. Beberapa hari setelah acara itu, para peserta sudah saling mengirim kado buku mereka. Kado untukku pun sudah tiba, dan aku sangat senang. Tapi pada saat bersamaan, aku tahu aku juga seharusnya sudah mengirimkan kado buku dariku kepada orang lain.
Namun aku belum mengirim sama sekali. Aku sudah menyiapkan buku yang ingin kukirim dan bahkan sudah membungkusnya. Tapi karena ada beberapa kendala, aku menunda mengirim bukuku. Waktu itu, kendalaku karena aku tidak punya uang. Aku benar-benar kere waktu itu.
Namun waktu berlalu, aku menunda hingga lupa bahwa aku belum mengirimkan buku itu sama sekali. Buku itu tak tersentuh. Tetap berada dalam bungkusan kertas berwarna coklat yang kusut termakan waktu.
Yang terburuk dari itu, sebab aku terlalu lama menunda, aku malah merasa sepertinya sudah terlambat mengirim buku ini. Kupikir, penerima itu sudah pasti melupakan ini. Jadinya, aku malah menunda lebih lama lagi dan tidak mengirimnya sama sekali. Bahkan, aku sempat memasukkan kembali buku itu ke rak bukuku sekalipun sudah dalam keadaan terbungkus.
Hari ini, setelah beberapa tahun, aku akhirnya memutuskan untuk mengirim kado buku itu ke alamat penerima. Aku tak tahu apakah dia masih tinggal di alamat yang sama, dan apakah nomor ponselnya masih sama dengan yang tertera. Aku bahkan tidak tahu apakah dia masih mengingat buku itu. Aku tak tahu. Aku hanya mengirimnya dan berharap beberapa hari ke depan, jika pengiriman lancar, buku itu sudah tiba di alamatnya.
