*Ini adalah catatan lama yang kutulis pada November 2020. Waktu itu aku melewati masa pandemi di kampung halaman. Dalam beberapa waktu luang, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat yang telah membesarkanku. Salah satunya, sekolahku.
Beberapa bulan lalu, aku berkunjung ke sekolah yang pernah menampungku tiga tahun. Saat kembali ke sekolah itu, aku merasa diriku kembali ke usia 12 tahun; usia aku pertama kali mendaftarkan diri dan meyakinkan ibuku untuk melepasku.
Akhirnya ibu melepasku, dan sepertinya benar-benar melepasku. Ketika anak-anak lainnya datang bersama kedua orang tuanya, aku hanya diantar oleh ojek langganan ibuku.
“Om, jangan pulang dulu”, aku sempat menahan ojeknya ketika kulihat orang-orang berjalan bersama orang tuanya ke ruang pendaftaran sekaligus tes mengaji.
Aku tak bermaksud meminta ditemani seperti orang lain, tapi aku hanya tak ingin merasa sendiri dan asing di tempat yang benar-benar baru bagiku.
Hal lain, sebab sebelum masuk ke ruangan tes mengaji, kulihat orang-orang yang datang hanya mengenakan pakaian biasa. Hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Sedangkan aku, hanya aku seorang yang mengenakan pakaian lengkap sesuai informasi pendaftaran; mengenakan pakaian muslim putih-putih dan peci. Lengkap dan rapi! Terlalu bersemangat!
Tapi tidak apa, tak ada yang mengenalku dan bodo amat. Aku sudah mengenakan pakaian yang tepat, dan aku benar-benar bersemangat ingin sekolah di tempat ini.
Motivasi terbesarku ingin bersekolah di sini, karena aku ingin merasakan sekolah asrama dan memasuki dunia magic seperti Harry Potter.
Ya, dan bayanganku tidak salah. Pada hari pertama sekolah, kulihat dua orang berlari melewati keramaian sambil tangannya direntangkan kebelakang seperti Naruto. Lalu salah satu dari mereka salto. Sedangkan yang satunya pula, dia berjalan menggunakan tangannya. Hand-stand. Aku terpukau, tentu saja.
Melihat kejadian itu, aku merasa di tempat ini, aku akan punya banyak teman main yang aneh. Tapi mungkin inilah magic-nya. Kelak mereka pulalah yang mengajariku tidur bersembunyi di dalam lemari ketika dibangunkan untuk sholat subuh, atau mengajak berkelahi antar kelas seperti di film Crow Zero, atau menjadi seorang santri yang setiap sore belajar membaca kitab gundul.
Aku senang pernah berada di tempat ini, dan senang bisa mengenang. Walau kata orang, jangan suka mengenang, tapi bagiku, melupakan tidak semudah itu — dan memang tak ada yang perlu dilupakan.