Di dalam kegelapan kamar, aku duduk bersila di atas kasur. Kedua tanganku menutupi wajahku. Aku membayangkan jika membuka mata, aku sudah berada di suatu tempat. Tempat yang jauh. Bukan di sini. Tapi nyatanya aku tetap berada di sini.
Di luar, langit tak hentinya bergetar. Guntur dan sesekali kilat tampak sekilas. Aku merasakan setiap kali langit berbunyi, lantai rumahku ikut bergetar…
Lalu terdengar langkah kaki mendekat. Semakin mendekat. Sangat dekat. Dan berhenti tepat di belakangku.
“Sebentar lagi pukul sembilan malam, Nak” katanya sambil mengusap punggungku. “Sudah waktunya tidur, atau kau akan terlambat bangun besok pagi.”
“Aku berbaring di kasurku sambil Jika mengingat malam itu. Aku sadar, bahwa aku beruntung. Aku merasa beruntung, seseorang pernah mengingatkanku untuk tidur lebih cepat agar dapat bangun pagi lebih cepat pula. Dan bahkan lebih segar.”
“Sekarang, aku percaya bahwa tidur itu jauh lebih baik daripada begadang.” Katanya sambil tertawa kecil, lalu ia menambahkan “Kecuali seperti kata Haji Rhoma, ‘begadang boleh saja, kalau ada perlunya!’”
Begitulah katanya. Dia tidak bercerita banyak hal kepada kami. Dia hanya membagikan perasaannya, bahwa di masa-masa sibuk dan lelahnya, tidur adalah waktu paling berharga baginya.
Aku tidak yakin apa maksud Pak Tua itu menceritakan hal ini kepada kami. Tapi yang pasti satu hal, malam itu adalah terakhir kalinya dia singgah di warung ini dan bercerita kepada kami.