Member-only story
Menjalani Hari-Hari yang Manis
Belum menjadi Medium Member? Baca tulisan ini melalui tautan ini.
Di pasar itu hampir tak ada lagi jual beli. Namun seorang lelaki tua tetap duduk di sana, menawarkan mangga arum manis demi hari-hari yang manis kepada pasar yang sepi.
Ia sering bermalam hingga jualannya habis dan bekerja seperti itu setiap hari, setiap malam. Namun tak ada yang tahu, kenapa ia bekerja sekeras itu, sampai pada pagi tiga hari lalu, seorang penjual ikan menemukannya membusuk bersama mangga-mangganya di bawah tangga pasar.
Usianya 60-an tahun. Bertahun-tahun silam, ia dan kekasihnya—seorang penjahit di lantai tiga pasar—menikah diam-diam, sebab Ibu kekasihnya tak ingin anaknya hidup dengan lelaki yang tak jelas akarnya.
Tetapi cinta benar-benar keras kepala. Mereka menikah dan hidup di pinggiran kota—tepatnya, di tepi sungai tak ramah dekat jembatan tempat beberapa pemuda mengakhiri masa muda mereka.
Setiap hari, ia ke pasar menjual mangga dari seorang pengumpul, dan istrinya, bekerja di rumah menjahit pakaian pesanan langganannya. Mereka bahagia meski nasib dagangan dan jahitan mereka tak selalu baik.
Mereka hidup cukup. Berdua. Namun bisik-bisik tetangga selalu bisa membakar dapur keluarga. "15 tahun menikah belum punya anak," kata tetangganya…