Menolak Pasta

wahab
3 min readMar 5, 2024

--

Makan malam telah tiba. Pukul 7, makanan sudah disajikan di atas meja. Ada beragam jenis makanan di meja itu. Tapi olahan dan tampilannya yang unik, membuatku tidak mampu mengenalinya dengan baik.

Sebab makanan itu tidak familiar bagiku, itu membuatku bingung ingin memilih yang mana. Satu-satunya yang jelas di situ hanyalah ayam bakar. Selebihnya, aku benar-benar tidak mengenalinya. Ditambah lagi, aku tidak melihat nasi di meja makan itu.

Aku berdiri di bagian belakang dan mempersilakan orang-orang lain untuk maju terlebih dahulu. Sebab aku malu bertanya, jadi aku diam-diam memperhatikan makanan apa saja yang dipilih orang-orang. Dari situ, aku sudah bisa membayangkan makanan apa yang akan kucampur di atas piringku.

Begitu tiba giliranku, aku mengambil makanan yang sama dengan orang sebelumku. Aku mengambil sesuatu yang menjadi pengganti nasi, belakangan aku baru benar-benar tahu bahwa itu yang dinamakan pasta. Lalu kutambahkan dengan sedikit campuran yang tak kuketahui namanya. Sisanya, aku mengambil sepotong ayam goreng.

Begitu tiba di meja makan, kami duduk berempat dalam satu meja. Di meja lain, meja yang kebih besar, mereka duduk sekitar 6 atau 7 orang. Tentu saja, jika sedang makan dan berkumpul seperti ini, selalu ada seseorang yang berbagi cerita. Lalu seterusnya, begitulah percakapan tercipta sambil kami menikmati makan malam.

Tapi malam itu, aku hanya ingin diam. Aku hanya ingin makan dan segera ke kamarku sebab kepalaku masih cukup berat. Aku masih sedikit mabuk laut. Itu adalah hari pertama kami berada di atas kapal, berlayar menuju Perairan Komodo.

Begitu aku menyuapkan makanan itu pertama kali ke dalam mulutku, aku tidak merasakan apa-apa. Lidahku tidak mengenal rasa-rasa yang ada pada makanan itu. Jadi aku mengulanginya dan hal yang sama terjadi. Lidah dan perutku menolak pasta ini. Tapi aku mencoba untuk biasa saja seolah tidak ada yang terjadi.

Namun ternyata, aku tidak bisa memaksakan diriku. Aku tidak ingin mubazir dan tak ingin lapar, jadi kuhabiskan ayam bakarku. Hingga bersih. Yang tersisa di atas piringku, pasta yang sama sekali tak menarik minatku.

Teman di sampingku menyadari itu. “Kenapa kamu gak makan itu?” tanya dia sambil berbisik pelan. “Kukira ini rasanya seperti indomie, ternyata tidak ada rasa sama sekali,” jawabku.

Tawanya tiba-tiba pecah. Tidak terlalu besar, tetapi cukup membuat orang-orang di meja makanku memperhatikanku. Aku hanya tersenyum. Setelah itu, aku memutuskan untuk berdiri, mengangkat piringku dan masuk ke dapur menemui chef. Aku meminta maaf kepada chef dan menjelaskan ketidaktahuanku.

Chef hanya tertawa. “Kamu gak bilang kalau gak bisa makan pasta,” katanya sambil tertawa. Aku yang tak tahu harus merespon apa lagi, hanya bisa tersenyum. Setelah itu aku pamit kembali ke meja makan dan menyelesaikan makanan penutup yang disajikan.

Barulah setelah semua selesai, temanku memanggilku. “Eh, lain kali, kalau kamu gak bisa makan pasta, minta nasi aja sama Chef.” Lalu dia menarikku. “Ini Chef, dia gak makan pasta.” Dan mereka semua tertawa. Aku pun hanya bisa ikut tertawa menutupi rasa maluku.

Hari-hari berikutnya, aku belajar dari kesalahanku. Begitu aku melihat tak ada nasi di meja makan, aku memutuskan untuk ke belakang. Masuk ke dapur dan minta izin ke Chef “Saya mau makan nasi aja ya,” pintaku sambil cengar-cengir.

Apa yang terjadi malam itu, selesai di situ dan tinggal di situ. Tapi aku tetap mengingat “pasta” itu. Kupikir biarlah, cukup itu menjadi pengalamanku menikmati makanan western. Lagipula, begitu 8 hari pelayaran kami dari Komodo ke Bali selesai, kejadian itu juga sudah terlupakan.

Namun satu hal yang kupelajari dari pengalaman itu, dan ini kujadikan pengingat kepada diriku sendiri. “Kalau makanannya gak familiar, lebih baik gak usah diambil atau dimakan. Cari makanan yang lain. Dan satu lagi, jangan malu bertanya! Itu yang terpenting”

--

--

wahab
wahab

Written by wahab

i write every day about little things and everything in between.

No responses yet