Besok, 11 Maret, orang-orang akan merayakan nyepi. Biasanya, aku hanya mengenal nyepi sebagai salah satu libur keagamaan yang ada di kalender nasional.
Setahuku hanya sampai di situ saja. Namun kali ini berbeda. Baru kali ini aku melihat seperti apa antusiasme orang-orang menyambut nyepi.
Beberapa hari sebelumnya, teman-teman kantorku sudah mengingatkanku. “Kamu usahakan belanja sehari sebelum nyepi ya,” kata temanku. Lalu dia menambahkan “Sebaiknya belanja lebih awal, soalnya kalau lambat, toko-toko sudah ramai.”
Dia menceritakan pengalamannya merayakan nyepi pada tahun-tahun sebelumnya. Katanya, di sini, orang-orang benar-benar tidak boleh keluar, lampu-lampu rumah sebaiknya tidak dinyalakan, dan tidak membuat kebisingan. Kamu hanya perlu tinggal di rumah sehari itu dan nikmati kesunyian.
Pagi tadi, aku baru pergi berbelanja. Benar seperti kata temanku, toko-toko sangat ramai. Orang-orang berbelanja menyiapkan bekal untuk menyepi di rumah masing-masing. Bahkan, sekadar berbelanja di minimarket saja, antrian cukup panjang.
Hal lain yang membuat toko-toko sangat ramai karena orang-orang juga berbelanja untuk menyambut ramadan. Setahuku, hari pertama ramadan tahun ini bertepatan dengan nyepi. Bagiku, ini adalah pengalaman pertamaku menyiapkan diri menyambut ramadan bersamaan dengan merayakan nyepi.
Terlepas dari itu, aku sangat suka dengan toleransi beragama orang-orang di sini. Mereka saling memahami dan saling menghargai kepercayaan masing-masing. Rukun sekali. Kupikir, kalau saja di semua tempat orang-orang punya toleransi dan kerukunan seperti ini, tentu semuanya baik-baik saja.
Lalu sore tadi, temanku mengajakku untuk menyaksikan ogoh-ogoh. Aku tidak tahu itu apa dan aku tidak pernah menyaksikannya sama sekali. Ternyata, ogoh-ogoh itu adalah parade yang biasanya dilakukan dalam menyambut nyepi. Orang-orang mengarak ogoh-ogoh atau patung-patung yang menjadi simbol atau memiliki cerita tersendiri.
Kami berangkat ketika sore. Namun karena hujan, parade itu sempat tertunda. Baru sekitar pukul 8, ketika hujan sudah reda atau menipis, ogoh-ogoh mulai diarak keluar disertai dengan pukulan gendang.
Begitu kami tiba, tempat itu sudah padat. Orang-orang sudah memenuhi jalanan. Keramaian yang sama seperti yang biasanya kusaksikan pada acara-acara konser. Bedanya, mereka sangat tertib dan teratur. Jadi semuanya berlangsung meriah dan aman-aman saja.
Acara itu masih berlangsung ketika aku memilih untuk pulang. Tepat pukul 10, aku sudah pulang. Kakiku pegal dan badanku gerah berada di tengah-tengah lautan manusia. Belum lagi, gerimis yang tak henti membasahi tubuh.
Begitu kami pulang, jalanan sudah sangat gelap. Toko-toko sudah tutup. Lampu-lampu sudah dipadamkan. Termasuk lampu rumah dan lampu jalan. Hanya ada beberapa minimarket yang masih terbuka dan sedang bersiap-siap untuk tutup pula.
Namun karena aku pulang lebih awal, aku tidak sempat menyaksikan orang-orang membakar ogoh-ogoh itu. Katanya, setelah mereka selesai mengaraknya, ogoh-ogoh yang menjadi simbol keburukan dan hal negatif itu akan dibakar. Mereka mempercayai bahwa dengan membakarnya itu sebagai cara untuk mengharapkan agar dunia menjadi bersih dan bebas dari roh-roh jahat.
Aku senang bisa berada di sini, menyaksikan secara langsung dan ikut merayakan nyepi. Bagiku, ini semacam cara untukku belajar memahami betapa indahnya cerita dan konsep yang menjadi landasan kepercayaan orang-orang.