Menyiapkan Diri

wahab
3 min readApr 11, 2024

--

Kadang aku berpikir, aku masih anak remaja yang baru gede. Masih memiliki banyak angan-angan kecil untuk diriku, dan aku masih memiliki semangat untuk berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari pengalaman.

Tapi kenyataannya, tidak dengan orang lain. Terutama keluargaku. Mereka melihatku sebagai lelaki yang telah dewasa dan sudah siap untuk tanggungjawab yang lebih besar. Mereka merasa, sudah saatnya bagi diriku untuk bersiap pada angan-angan yang bukan hanya tentang diriku tapi juga tentang mereka.

Sejak dua hari lebaran ini, setiap keluarga yang kutemui — entah aku mengunjungi mereka atau mereka yang mengunjungi rumahku — selalu punya satu pertanyaan yang mengarah pada satu hal. Semuanya menanyakan tentang “kapan nikah?”

Meskipun pertanyaannya tidak persis seperti itu, tapi begitulah maksudnya. Kemarin, ada yang menanyakan “Umur berapa sekarang?” Setelah kujawab, dia lalu melanjutkan “Sudah boleh. Saya dulu nikah di usia sekitaran itu.” Aku pun hanya tertawa.

Sebab aku tidak pernah membicarakan hal-hal semacam ini kepada Ibuku, tentu saja Ibu juga punya pertanyaan. Meskipun kutahu dia selalu menyimpan pertanyaannya untuk di waktu yang tepat. Belum selesai tawaku, Ibu melihat ada kesempatan untuk bertanya, “Sudah ada kah?” Dia menanyakan apakah aku punya seseorang yang istimewa.

Aku hanya menggeleng kecil dan bilang “Belum,” sambil mataku menatap langit-langit rumah. Selepas itu, percakapan kembali pada hal-hal keseharian lainnya. Pertanyaan itu selesai di situ, tetapi aku terus memikirkannya.

Hal yang sama terjadi pada siang tadi. Keluargaku dari daerah yang cukup jauh datang berkunjung ke rumah. Mereka datang sekeluarga beserta menantu, anak, dan cucunya. Mereka adalah paman dan para sepupu serta keponakanku.

Pada satu kesempatan, pamanku tiba-tiba memelukku dan membisikkan sesuatu di telingaku. “Saya punya calon yang cocok untuk kamu.” Lagi-lagi aku hanya tertawa.

“Tapi itu tergantung dari kamu. Kalau kamu mau, nanti dikenalkan.” Pamanku melanjutkan pesan penting dan rahasia itu. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menanggapi hal-hal seperti ini dengan lebih sopan selain tertawa hangat. Aku hanya tertawa dan berharap percakapan berpindah ke topik lain seketika.

Selepas sesi makan-makan, ngobrol-ngobrol, dan lain-lain, aku sudah tidak memikirkan tentang hal itu lagi. Kuanggap semuanya hanyalah candaan dan angin lalu belaka. Tapi ternyata, pamanku masih mengingat segala yang telah dia sampaikan kepadaku.

Tepat ketika mereka berpamitan sebelum pulang, pamanku menyampaikan satu hal yang kupikir lebih serius lagi. Dia menyampaikannya di hadapanku dan Ibuku. Aku lagi-lagi tidak bisa mengatakan apa-apa selain hanya tertawa. Namun pada saat bersamaan, aku terus memikirkannya dan berharap hal-hal semacam ini menjadi doa yang baik untukku,

Setelah menghadapi pertanyaan dan kondisi seperti ini, sekarang aku percaya bahwa aku bukan lagi remaja baru gede. Keluargaku benar-benar sudah melihatku sebagai lelaki dewasa yang sudah harus siap melangkah pada suatu hal yang lebih besar.

Setelah kupikir-pikir, aku senang mereka turut memikirkan dan mendoakan hal-hal yang baik untuk diriku dan masa depanku. Aku senang menyadari bahwa orang-orang di sekitarku peduli kepadaku. Tapi satu hal, aku harus benar-benar siap. Jika aku sudah siap, aku akan melakukannya dengan penuh kesadaran diri dan atas keinginanku sendiri.

--

--

wahab
wahab

Written by wahab

i write every day about little things and everything in between.

No responses yet