Beberapa hari belakangan, aku lagi-lagi merasa tidak ada hal menarik yang kualami dan bisa kuceritakan, sebab hari-hariku berjalan seperti itu-itu saja. Berangkat ke kantor sejak pagi dan pulang pada sore sehari, sekitar tiga puluh menit sebelum matahari tenggelam. Hal-hal monoton mengunci kepalaku. Aku mengalami semacam kebuntuan menulis.
Sebab itu, aku tidak pula bisa menulis apa-apa. Seketika setiap hal yang ingin kupikirkan, rasanya seperti tidak menarik untuk kusimpan dalam catatan harianku. Jadinya, aku mencoba mengatasi kebuntuan menulis itu dengan mengunjungi kembali puisi-puisi lamaku dan mengunggah beberapa yang menurutku sudah perlu kulepaskan menemui pembacanya.
Cara itu, tentu saja, membantuku. Namun itu hanya untuk sesaat. Sebab pada hari berikutnya, aku harus kembali menulis. Jika aku tidak menulis, kupikir kebuntuan menulisku akan semakin tebal. Seperti saat ini. Aku menulis catatan ini dengan memaksa diriku untuk mengolah kembali pikiranku dan menuangkannya ke dalam kata-kata. Hasilnya, sulit menemukan hal-hal baik dari sesuatu yang dipaksakan.
Lalu apa yang harus kulakukan untuk meruntuhkan tembok kebuntuan menulis ini? Aku belum menemukan jawaban yang tepat. Satu-satunya hal yang kulakukan saat ini adalah menulis. Aku membayangkan bahwa setiap huruf adalah semacam satu prajurit. Aku perlu menyatukan mereka menjadi satu kata, lalu menjadi satu kalimat. Jika sudah bersatu menjadi sebuah paragraf, maka tembok sekokoh apapun kupikir akan runtuh. Tembok Berlin aja bisa runtuh, kok tembok kebuntuan menulismu tidak?