Orang-Orang Gila di Dunia yang Gila
Dunia yang gila diciptakan oleh orang-orang gila. Orang-orang gila dilahirkan oleh dunia yang gila. Benar-benar gila. Tetapi siapa yang gila, orang-orang atau dunia ini?
Pertanyaan itu mengganggu saya setelah membaca Orang-Orang Gila karya Han Gagas. Melalui novel terbarunya, yang diterbitkan oleh Mojok pada Februari 2018. Ia menyajikan kisah mengenai orang-orang gila dan dunia yang gila. Ia juga mencoba memperlihatkan bagaimana dunia yang gila diciptakan oleh orang-orang gila, begitupula sebaliknya.
Narasinya dibuka dengan menggunakan latar tempat di sebuah Rumah Sakit Jiwa.
“Begitu bangun, Marno berada di ruang isolasi. Ruang yang sesungguhnya hanya untuk orang-orang dengan gangguan jiwa akut yang suka mengamuk dan pernah membunuh” (Hal.1)
Rumah Sakit Jiwa menjadi pemilihan tempat yang menarik karena merupakan salah satu tempat yang kurang diperhatikan dan tidak terlalu dikenali oleh orang-orang, serta berbeda dengan Rumah Sakit pada umumnya.
Marno, salah satu tokoh dalam novel ini, harus berakhir di ruang isolasi setelah beberapa minggu sebelumnya menghabisi nyawa seorang pemuda dalam perkelahian yang tidak seimbang -melawan keroyokan beberapa pemuda. Pisau yang selalu disimpan di balik celananya, yang biasa digunakan untuk jaga-jaga meneteskan darah pemuda yang mengejeknya “idiot.”
Perkelahian dimulai dari hal yang sebenarnya sepele, tetapi sulit untuk dihindari. Ia harus berkelahi dengan beberapa pemuda itu setelah diejek “idiot, gila, edan” sebab mukanya yang “bengkak dan aneh.” Dari adegan perkelahian ini, Han Gagas mencoba menunjukkan bagaimana dunia yang gila melahirkan orang gila.
Kehidupan Marno di dalam Rumah Sakit Jiwa harus dijalaninya sebagai seorang pasien. Dan sudah tentu saja dia akan bertemu dengan orang-orang yang berlabel sama sepertinya -gila.
“kalian semua gila, aku juga gila, ayo kita makan, dan bila semua sudah kenyang kita bisa berkelahi bersama.” (Hal.49)
Tidak butuh waktu yang lama bagi Marno untuk mendekam di Rumah Sakit Jiwa, setelah didiagnosa sembuh, ia pun dibebaskan untuk pergi. Dari sinilah Marno kembali memulai kisah hidupnya sebagai “bekas orang gila” memasuki sebuah dunia nyata. Kembali ke kehidupan yang sama seperti orang-orang pada umumnya.
Menjalani kehidupan sebagai “bekas orang gila” merupakan hal yang berbeda dari kehidupan yang pernah dialaminya. Berbeda. Jika sebelumnya, saat menjadi orang gila, ia tidak perlu berpikir banyak. Hidup baginya sangat mudah untuk dijalani. Tetapi menjadi bekas orang gila, disitulah ia mulai memandang dan bercerita tentang dunia ini. Dunia yang gila dan orang-orang gila.
Begitupula Astrid, juga salah satu tokoh dalam novel ini yang mengalami hal serupa Marno. Dia juga harus menjadi gila. Awal kegilaannya bermula dari kesedihannya setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal. Dan puncaknya dia menjadi gila, ketika beberapa pemuda menyelusup masuk ke rumahnya pada suatu malam dan berganti-gantian memperkosanya. Kejadian itu membuatnya tak terurus. Hingga tetangga-tetangganya mengusirnya dari rumahnya sendiri. Setelah sembuh, ia menjalani hidup barunya sebagai pelacur.
Kedua tokoh ini bergantian menceritakan kisah hidupnya dalam novel setebal 256 halaman ini. Mereka pada akhirnya bertemu di sebuah pemakaman tua. Mereka bermukim di makam tua itu, dan disanalah mereka menjadi sepasang orang paling bahagia di muka bumi.
Apa yang disampaikan Han Gagas melalui kedua tokoh ini adalah mereka tak pernah memilih untuk menjadi orang gila, tetapi mereka harus menjadi orang gila karena dunia yang gila yang melahirkannya. Tetapi siapa yang menciptakan dunia yang gila itu?
Kegilaan yang dilahirkan oleh dunia yang gila ini, berawal dari hal-hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang gila; mulai dari ejekan-ejekan terhadap kondisi fisik atau tingkat kecerdasan seseorang, Seperti halnya yang terjadi kepada Marno. Dan juga dari tindakan-tindakan keji yang terjadi kepada Astrid.
Terlepas dari hal-hal itu, Han Gagas mencoba mengajak kita untuk memutuskan untuk sepakat atau tidak untuk mengatakan bahwa dunia sekarang memang sudah gila. Pada Bab 4 “Para Bajingan,” dikisahkan; ketika Astrid yang telah terusir dari rumahnya sendiri, terlunta-lunta sendirian di jalanan sebagai orang gila, harus mengalami kejadian menggelikan sekali lagi. Beberapa pemuda dari menculiknya -untuk dijual sebagai pelacur di sebuah lokalisasi Tante Lisa-,menyiksanya, memperkosanya bergantian.
Di bagian lain, ketika Marno yang telah menjadi orang-orang seperti biasanya, terpaksa harus dikucilkan dan ditinggalkan sendirian sebagai orang gila sekali lagi ketika orang-orang proyek menggunakan cara yang buruk untuk mengusirnya dari sebuah desa tempatnya bermukim.
Pada akhirnya, ketika pertemuan Marno dan Astrid terjadi, -Pada Bab 16 “Kehidupan di Atas Makam”- lagi-lagi dunia yang gila menunjukkan bagaimana caranya memaksa orang menjadi gila. Agama dan Negara menjadi cara membuat mereka terlihat gila, ketika Marno dan Astrid yang bersepakat untuk saling menikah.
“Kita ini manusia merdeka, gembel, rasanya kita juga tak perlu KTP, tak perlu Kartu Keluarga, kita teracuhkan oleh negara, kita tak butuh negara, bahkan kita bisa hidup tanpa negara, selama ini toh tak ada negara dalam hidup kita, cari makan pun hasil keringat kita” (Hal.224)
Dalam novel ini, semuanya terjadi begitu cepat. Mulai dari Marno yang selepas bebas dari Rumah Sakit Jiwa, ia dengan mudah menjadi bagian dari suatu desa, menjdi penakwil mimpi dan menjadi orang yang sangat jauh dari kata gila. Begitupula Astrid yang setelah menjadi orang gila, lalu menjadi seorang pelacur, sebelum akhirnya betemu dan jatuh cinta pada Marno yang aneh.
Barangkali, dunia memang begitu cepat melahirkan orang-orang gila dan orang-orang gila juga begitu cepatnya menciptakan dunia yang gila. Tetapi, siapa di antara mereka yang gila?
Judul : Orang-Orang Gila
Penulis : Han Gagas
Penerbit : Mojok
Tebal : 256 Halaman
Cetakan : Cetakan Pertama, Februari 2018
ISBN : 978–602–1318–45–4
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Savana Post.