Member-only story
Belum menjadi Medium Member? Baca versi gratis tulisan ini di sini.
Tidak. Ibu tidak pernah mengatakan “aku mencintaimu, nak” atau “aku sayang padamu.” Aku tidak dibesarkan dengan kata-kata seperti itu. Bahkan seingatku, aku tidak pernah benar-benar mendapati Ibu mengatakan itu kepadaku.
Sebabnya, aku tumbuh dan menganggap hal-hal semacam itu sesuatu yang langka. Atau dengan kata lain, aku tidak pernah terpikir untuk mengucapkan hal-hal seperti itu kepada Ibu, seperti halnya dia tidak pernah mengatakannya kepadaku.
Namun itu bukanlah suatu hal yang buruk. Aku tidak merasa kekurangan sama sekali meskipun tidak pernah mendengar Ibu mengucapkan hal-hal semacam itu kepadaku. Justru, aku selalu merasa senang ketika menyadari bahwa Ibu selalu mengatakannya dengan bahasa yang lain. Bahasa yang membuatku selalu percaya bahwa selalu ada puisi di setiap kata dan tindakan Ibu.
“Kau sudah makan?” Kupikir itu salah satu dari beberapa cara lain Ibu mengatakan cinta kepadaku. Sederhana, tapi hanya orang-orang yang benar-benar peduli yang sering menanyakan hal semacam itu. Meskipun sebetulnya, dua remaja yang saling jatuh cinta juga kadang menanyakan hal-hal semacam itu dalam percakapan mereka.
Kadang pula, tanpa kuminta Ibu selalu membuatkan makanan kesukaanku. Aku ingat, dulu ketika aku…