Aku pernah menulis catatan tentang kesalahan dalam penulisan namaku. Waktu itu, aku menemukan kesalahan penulisan yang bervariasi. Namaku, Wahab. Namun beberapa orang, masih saja menggunakan huruf P pada huruf akhir namaku, dan mengubahnya menjadi Wahap.
Itu adalah kesalahan pertama yang kutemukan dan aku masih memakluminya sebab huruf B dan P yang berada di akhir kata atau nama, bisa memiliki bunyi yang hampir serupa. Misalnya, Reza Arap dan Reza Arab. Namun yang tak pernah kusangka, bukan hanya huruf B dan P yang memiliki bunyi yang hampir sama. Ternyata ada juga huruf F, dan itu kutemukan pada kesalahan yang lain. Bukan lagi Wahab atau Wahap, tetapi Wahaf.
Aku masih menganggap ini sebagai hal-hal sepele yang cukup untuk kutertawakan saja. Lagipula ini tidak terjadi pada penulisan namaku untuk hal-hal penting. Semua kesalahan itu kutemukan pada struk pembayaran kopi dan laundryku. Aku masih berpikir ini lucu dan menertawakannya sendiri.
Sampai aku menemukan kesalahan berikutnya. Kali ini, aku masih sempat tertawa sebelum aku mulai berpikir panjang. Apa gerangan yang membuat orang-orang bisa salah menulis namaku. Padahal hanya lima huruf dan tidak sulit sama sekali. Wahab, itu saja. Mereka yang menulis Wahap dan Wahaf, aku masih memakluminya. Namun yang satu ini, menulisnya jauh dari yang kubayangkan dan tak bisa kupikirkan. Bukan lagi B, P, atau F, tapi M. Dari Wahab, menjadi Wahap, lalu Wahaf, kemudian terbitlah Waham.
Aku mulai berpikir, mungkin saja dia salah dengar. Mungkin pula suaraku yang terlalu kecil atau samar-samar. Itu adalah jawaban sementara yang bisa kusimpulkan. Sepertinya volume suaraku benar-benar terlalu rendah sedangkan kami bicara dalam keramaian di antara pelanggan-pelanggan lain. Jadi aku memaklumi kesalahan itu dan mengganggapnya sebagai lelucon semata.
Kemudian pada pekan lalu, lagi-lagi aku menemukan kesalahan penulisan pada namaku. Aku ke sebuah kafe untuk menonton bola, pertandingan Community Shield antara MU vs City. Kafe itu belum terlalu ramai ketika aku datang dan memesan minuman segar. Jadi aku tidak berpikir pelayannya akan salah dengar namaku atau tidak mendengar suaraku dengan baik.
“Pesanannya atas nama siapa, Kak?” Tanya pelayan itu.
“Wahab, Kak,” jawabku.
“Siapa?”
Aku mengulangi menyebut namaku. Kali ini aku menambah volume suaraku agar dia bisa mendengarku dengan jelas. Bahkan aku mengulanginya dua kali dan memperagakan cara menyebut namaku. Pelayan itu hanya tertawa, dan itu membuatku ragu. Jadi aku meminta nota yang ia pegang, dan aku menuliskan namaku dengan jelas di kertas pesananku itu. Aku menulis, WAHAB. Kupikir itu sudah sangat jelas.
Minumanku tiba ketika pertandingan sudah berlangsung sekitar lima menit. Aku hanya bertahan di kafe itu sampai babak pertama, atau 45 menit pertama pertandingan itu berakhir. Suasananya sudah semakin ramai dan tidak terlalu nyaman, bagiku, menonton sambil mendengar orang-orang yang tidak berhenti bicara. Terlebih lagi mereka yang lebih hebat daripada pemain, pelatih, dan komentator bola.
Aku membayar pesananku lalu pulang. Biasanya, ketika aku mendapatkan nota pembayaran, aku selalu menyimpannya di mejaku. Kadang kertas itu kugunakan untuk membuat catatan-catatan acak, atau kadang pula kujadikan pembatas bacaan.
Malam ini, ketika menulis catatan ini, aku tidak sengaja melihat namaku di nota pembayaran dari kafe itu. Kupikir tintanya pudar, tapi ternyata namaku lagi-lagi salah tulis. Bukan lagi B, P, F, dan M, tapi H. Dari Wahab, Wahap, Wahaf, lalu Waham, kemudian yang terbaru menjadi Wahah. Aku membacanya sambil tertawa Wahahaha.
Kupikir, mungkin ini saatnya aku membuat kartu namaku. Wahaha.