Hari 26 Ramadan

Menjadi Penceramah

Bersepeda menaklukkan masjid-masjid

wahab
3 min readApr 6, 2024
Photo by Tapish on Unsplash

“Kamu mau ceramah malam ini?”

Pertanyaan itu disampaikan secara bercanda oleh teman masa kecilku ketika kami bertemu di masjid untuk tarawih. Aku tertawa mendengarnya. Belum sempat kujawab candaannya, dia lalu menambahkan dengan hal-hal yang tidak kuduga.

“Kau ingat dulu kita bersepeda ke masjid-masjid untuk menemanimu ceramah?” Lalu dia tertawa. Aku pun masih ikut tertawa, tapi pada saat bersamaan aku tidak menyangka bahwa dia mengingat hal-hal itu. Dia mengingatkanku dengan masa kecilku yang penuh semangat.

Waktu itu aku benar-benar seorang anak yang punya semangat, keberanian, dan bahkan kepercayaan diri yang sangat besar. Setiap ramadan, aku ingin mengunjungi semua masjid yang bisa kujangkau dengan bersepeda hanya untuk menjadi penceramah.

Tapi semangat itu tidak muncul begitu saja. Awalnya, semua itu bermula dari tugas sekolah. Ketika aku masih bersekolah asrama alias pesantren, semua santri mendapat tugas untuk menjadi penceramah di masjid di desa masing-masing. Aku yang masih pemalu dan pemula, dengan terpaksa harus melakukan itu.

Aku ingat ketika pertama kali ingin menjadi penceramah di masjid di kampung halamanku. Mungkin sekitar dua minggu kuhabiskan hanya untuk berlatih dan menghapalkan naskah ceramahku. Aku berlatih agar dapat menampilkan yang terbaik pada pengalaman pertamaku. Selain karena agar tidak membuat malu diri sendiri sebab akan disaksikan oleh tetangga, orang-orang tua, dan tentu saja teman bermainku.

Ketika hari itu tiba, aku berdiri di hadapan semua orang untuk menyampaikan ceramah. Kalau kuingat-ingat, pada pengalaman pertama itu, aku mungkin hanya berdiri sekitar semenit saja. Aku tak mampu menahan kakiku yang kedinginan dan gemetaran. Bahkan naskah yang sudah kuhapalkan begitu saja hilang dari ingatanku. Jadinya, aku bicara sangat cepat dan singkat saja.

Kupikir, aku sudah mengacaukan pengalaman pertamaku. Tapi ketika turun, petugas masjid menghampiriku dan menyalamiku. Dia antara telapak tangan kami, aku mampu merasakan kertas amplop terselip. Seketika itu membuatku lupa dengan pengalaman burukku barusan.

Keesokan harinya, aku tidak ingin ikut bermain dengan teman-temanku. Kupikir, mereka nanti akan mengejekku karena telah menjadi penceramah yang buruk. Tapi ternyata, tanggapan mereka justru berbeda. Mereka memujiku dan bahkan merasa bangga punya teman sepertiku. Aku ingat salah satu di antara mereka tiba-tiba bilang “Kalau kau mau tampil lagi ceramah di masjid lain, saya siap temani.”

Aku tidak menyangka bahwa tanggapan mereka menjadi api yang membakar semangatku. Tapi pada saat itu, aku benar-benar masih pemula, pikirku. Aku perlu berlatih lebih banyak lagi. Jadinya, aku hanya menjadi penceramah sekali saja pada ramadan waktu itu.

Barulah pada tahun berikutnya, aku merasa tumbuh menjadi orang yang berbeda. Semangatku tidak tertahankan. Pada ramadan itu, aku sudah menulis daftar masjid yang ingin kukunjungi. Setidaknya ada 4 masjid yang di kampung halamanku yang masuk dalam daftar.

Kukira semangatku sangat besar, tapi tidak lebih besar dibanding teman-temanku. Belum kuberitahu mereka rencanaku, mereka yang terlebih dahulu menanyakanku “Mau ceramah di mana lagi?” Mereka tidak hanya membakar semangatku, tapi juga membuatku memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang lebih besar lagi.

Sebab waktu itu kami masih para bocah yang hanya senang bersepeda, kami pun mengunjungi masjid-masjid itu dengan bersepeda. Jaraknya, jika dipikir-pikir, tentu melelahkan. Tapi waktu itu, kami hanya bocah yang penuh semangat. Jadi tidak memikirkan lelah itu sama sekali.

Yang ada, semua hanya menyenangkan. Rasanya kami seperti para petualang yang bersepeda keluar desa dan memasuki desa-desa asing untuk menaklukkan masjid-masjid. Benar-benar menyenangkan.

Ketika temanku tiba-tiba mengingatkanku dengan kenangan itu, aku benar-benar tidak menyangka. Perasaanku campur aduk. Aku senang, tentu saja karena punya kenangan masa kecil seindah itu. Tapi lebih dari itu, aku tidak menyangka bahwa ternyata pengalaman itu menjadi kenangan indah, bukan hanya untukku, tapi untuk kami.

--

--

wahab
wahab

Written by wahab

i write every day about little things and everything in between.

No responses yet