Tidak semua orang punya kemampuan untuk mengutarakan perasaan mereka. Tidak semua orang punya keberanian untuk mengungkapkan rahasia mereka. Tidak semua orang punya kekuatan untuk menceritakan ketakutan mereka.
Kebanyakan dari mereka memilih untuk diam, bersembunyi, dan bahkan berusaha untuk lari dari segala kegelisahn yang terus mengejar mereka. Meskipun mereka tahu, ke mana pun mereka berlari, ketakutan selalu tiba lebih awal. Jauh di depan. Di masa depan.
Itu membuat mereka bingung dan tak tahu harus melakukan apa. Tidak sedikit dari mereka yang menyerah. Entah itu dengan cara yang buruk maupun dengan cara yang tak terpikirkan sama sekali. Tapi mereka yang bertahan, diam-diam sedang terus berjuang melawan segalanya.
Namun tetap saja, di antara mereka yang bertahan, tidak semua memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Mungkin bukan karena mereka tak mampu, tak mau, atau tidak berani mengutarakannya. Tapi karena mereka tak tahu siapa yang sanggup menampung cerita-cerita mereka. Jadi sekali lagi, mereka hanya diam.
Mereka diam-diam membiarkan cerita-cerita itu berkembang di dalam kepala mereka sendiri. Kegelisahan itu tumbuh cepat di dalam kepala mereka, dan memakan pikiran mereka sendiri. Namun tetap saja, mereka hanya bisa diam. Tak tahu ke mana harus merilis perasaan dan pikiran mereka.
Semakin lama mereka mendiamkan diri, semakin lama mereka menutup diri, semakin besar pula kegelisahan dan ketakutan itu tumbuh. Itu membuat mereka semakin lama, semakin jauh pula dari kenyataan di sekitarnya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena mereka tak lagi mampu peduli.
Yang terburuk dari itu, dunia di sekitarnya malah membuat segalanya menjadi lebih buruk. Ada yang menertawakan mereka, ada yang memandang aneh mereka, dan ada pula yang menjauhi mereka. Sebab mereka merasakan bahwa dunia mereka dan dunia orang-orang lain seperti dua dunia yang berbeda.
Keduanya hidup berdampingan tapi tak mampu saling memahami. Bahkan sekadar untuk saling mengunjungi dan menanyakan kabar. Perbedaan menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Salah satu di antara mereka, setidaknya harus melakukan sesuatu untuk meruntuhkan tembok itu.
Penyesalan terbesar dalam hidupku, aku melihat tembok itu. Tapi aku tak melakukan apa-apa. Aku berbahagia dengan duniaku di balik tembok di sisiku. Sedang di sisi lain, tepat di sampingku, seseorang membutuhkanku meruntuhkan tembok itu. Cukup dengan melakukan hal kecil, sesederhana menanyakan kabarnya.
Tapi aku hanya diam tanpa kata dan tak melakukan apa-apa. Apakah seseorang mampu memaafkan masa lalu semacam itu?
*Tautan ke catatan-catatan lain yang disebutkan dalam catatan ini: