Biasanya pada hari minggu, aku selalu ingin ingin ke pantai untuk menikmati waktu sendiri. Entah itu pada pagi hari untuk menyambut matahari terbit maupun pada sore hari untuk menyaksikan langit dan laut kekuningan. Aku menggunakan hari minggu, sebagai hari untuk benar-benar memberi waktu pada diriku sendiri.
Namun tidak pada hari minggu ini. Aku merasa sepanjang hari tidak memiliki semangat dan tenaga untuk keluar meninggalkankan kamarku. Sekalipun pantai sangat dekat dari tempat tinggalku, aku tiba-tiba berpikir akan menempuh perjalanan yang melelahkan untuk tiba di sana. Jadinya, aku hanya tinggal, mengurung diri di kamar, tidak bertemu dan berbincang dengan siapa-siapa, dan tidak pula melakukan apa-apa selain tidur.
Hampir seharian, yang kulakukan hanya tidur saja. Aku hanya terbangun ketika keluar ke warung membeli makan siang, mandi, dan ibadah. Selebihnya, aku tertidur. Rasanya, aku menghabiskan lebih banyak waktuku untuk tidur ketimbang melakukan hal-hal lain hari ini. Bahkan, hal-hal yang telah kurencanakan, tak ada yang benar-benar kulakukan pada hari minggu ini. Aku hanya tidur dan menikmati mimpi-mimpi aneh yang kualami.
Salah satu mimpi yang kuingat, ini terjadi sebelum aku terbangun pada pukul 12 siang tadi, tampak seperti film. Aku ingat bahwa dalam mimpi itu, aku dan banyak orang terperangkap dalam sebuah gedung bertingkat. Lalu setiap orang diberi satu keranjang yang berisi buku-buku puisi, tapi buku-buku itu bukan untuk kami. Setiap orang diberi tugas untuk membawa buku-buku ke lantai atas dan memberikannya kepada seseorang. Mereka yang menolak melakukannya, segera ditembak.
Mimpi itu benar-benar seperti sebuah film yang rasanya pernah kusaksikan. Hanya saja aku tak memahami sebab-akibat dan alur ceritanya secara jelas. Aku ingat, aku akhirnya naik ke lantai atas membawa satu keranjang berisi buku-buku puisi. Ternyata buku-buku itu diberikan kepada orang-orang kaya yang sedang sibuk menikmati kekayaan mereka. Perbedaan orang-orang yang ada di lantai bawah dan lantai atas terlihat sangat jelas.
Mulai dari pakaian, makanan, gaya hidup, dan sebagainya. Semuanya terlihat mewah di lantai atas, sedangkan mereka yang berada di lantai bawah dengan terpaksa harus melakukan pekerjaan mereka — membawa buku-buku puisi itu ke lantai atas — tanpa pernah tahu kenapa harus mereka yang melakukannya dan untuk apa mereka harus melakukannya.
Aku lupa bagaimana mimpi itu berakhir, sebab aku akhirnya terbangun pada pukul 12 siang. Sejenak aku menenangkan diri dan mengingat-ingat mimpi itu. Namun yang tidak kupahami, apa arti buku-buku puisi itu di dalam mimpiku dan kenapa buku-buku itu menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati orang-orang kaya yang berada di lantai atas. Aku mulai merasa, sepertinya aku pernah menyaksikan film dengan tema serupa. Yang terlintas di pikiranku adalah film Snowpiercer karya Bong Joon-ho, sekalipun tidak persis seperti itu.
Setelah terbangun, aku mengerjakan hal-hal lain. Aku perlu makan, mandi, dan ibadah. Meskipun begitu, aku tetap saja merasa bahwa mimpi itu sangat berkesan. Sore hari, aku sempat berpikir untuk keluar ke pantai tapi aku merasa tak punya semangat.
Barulah pada malam hari, aku terpaksa harus keluar. Tiba-tiba saja aku merasa, sepertinya aku membutuhkan es krim. Kupikir, yang benar-benar kubutuhkan saat ini hanyalah es krim. Aku ke minimarket terdekat membeli es krim, menikmatinya di sana, melamun sejenak sambil mengamati kendaraan dan jalanan yang padat, lalu balik ke kamarku dan menulis catatan ini.